Sosiologi Hanya Mempelajari Relasi Antarmanusia
Ketika belajar tentang pola interaksi sosial di SMA, kita belajar bahwa Sosiologi mempelajari relasi di antara individu-individu, individu-kelompok, dan kelompok-kelompok. Namun, apakah belajar sosiologi mengamati seseorang saja atau hanya terbatas dalam interaksi antarmanusia?
Jawabannya tidak, karena melalui Sosiologi kita juga bisa mempelajari relasi masyarakat dengan benda-benda mati.
Kok bisa? Maksudnya gimana tuh?
Salah satu studi Sosiologi tentang relasi masyarakat dengan benda mati yang paling dikenal pernah dilakukan oleh sekelompok sosiolog asal Frankfurt School, Jerman, pada sekitar tahun 1940-an.
Dikuasainya Jerman oleh Partai Nazi pada masa tersebut memaksa para sosiolog Frankfurt School yang berkebangsaan Yahudi untuk melakukan pengungsian ke Amerika Serikat.
By the way, gue ngasih contoh tentang Nazi Jerman lagi karena memang fenomena mereka sangat seksi untuk dijadikan obyek penelitian Sosiologi, bahkan menurut gue, gak cuma dalam Sosiologi, tapi di berbagai bidang ilmu lainnya.
Pada masa pengungsiannya di Amerika Serikat, para sosiolog Frankfurt School menemukan bagaimana produk kesenian—seperti musik, film, dan lain-lain—memiliki kekuatan untuk membentuk pola pikir masyarakat.
Para sosiolog Frankfurt School ini berargumen bahwa produk kesenian tidak lagi dibuat untuk merefleksikan kesadaran kritis masyarakat tentang kondisi-kondisi di sekitar mereka, melainkan hanya dibuat untuk meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Apa yang dimaksud oleh mereka adalah seharusnya produk kesenian seperti musik atau film dapat mencerminkan kondisi sosial maupun politik yang tengah terjadi dalam masyarakat dan tidak hanya dijadikan sebatas komoditas untuk diperjualbelikan. Sounds familiar?
Kalau kita kaitkan dengan konteks yang terjadi di Indonesia, apa yang disampaikan oleh para sosiolog Frankfurt School bisa jadi relevan.
Saat ini kita mungkin banyak terpapar oleh lagu-lagu populer tentang cinta atau patah hati, yang terkadang bisa membuat kita larut dalam perasaan-perasaan tersebut dan jadi tidak mengacuhkan kondisi sosial-politik yang tengah terjadi di dalam masyarakat.
Namun, pada kenyataannya memang ada berbagai musik atau film yang dibuat pada masa sekarang yang mengangkat tema sosial maupun politik terkini maupun dari masa lampau yang dianggap penting untuk dibahas.
Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Sifat pragmatis terakhir ditunjukkan dengan kecenderungan seseorang untuk membandingkan dirinya dengan orang lain dalam pencapaian.
Orang dengan sifat ini cenderung merasa superior ketika berhasil, namun merasa tertekan ketika tidak mencapai standar kesuksesan yang diinginkan.
Pandangan Tentang Realitas
Pragmatis melihat realitas sebagai sesuatu yang tergantung pada pengalaman manusia. Dalam pandangan pragmatis, realitas adalah konstruksi sosial dan tidak objektif.
Sementara itu, idealis melihat realitas sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh pikiran dan ide. Dalam pandangan idealis, realitas adalah konstruksi pikiran dan subjektif.
Pragmatis berfokus pada tindakan yang efektif dan berguna. Dalam pandangan pragmatis, tujuan akhir adalah untuk mencapai hasil yang positif.
Sementara itu, idealis berfokus pada kebenaran dan nilai-nilai moral. Dalam pandangan idealis, tujuan akhir adalah untuk mencapai kebenaran dan kebaikan moral.
Baca Juga: Beberapa Contoh Motto Hidup untuk Meningkatkan Semangat Kerja
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang mungkin secara tidak sadar memiliki sifat pragmatis yang terdiri dari beberapa macam, seperti:
Jadi Belajar Sosiologi buat Apa?
Nah, kalo elo udah baca beberapa miskonsepsi besar di atas tadi, menurut gue sebenernya elo udah bisa jawab apa tujuan belajar sosiologi?
Banyak banget yang bisa elo lakukan dalam ilmu yang fleksibel ini.
Mau tahu kenapa BTS, Bigbang, SNSD, Blackpink, dll. bisa booming banget? Itu bisa elo pahami melalui Sosiologi.
Kenapa Doraemon bisa menimbulkan rasa nostalgia bagi beberapa orang? Elo bisa cari tahu juga penyebabnya melalui riset Sosiologis.
Sebenernya dalam kehidupan sehari-hari elo udah memulai penelitian dengan menggunakan Sosiologi, loh!
Cuma mungkin elo nggak ngeh, karena tahapnya baru sampe perumusan masalah aja. Jadi, untuk bisa memenuhi rasa keingintahuan elo, Sosiologi sebenernya bisa jadi instrumen yang berguna banget.
Gue ingatkan lagi juga, bahwa Sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan. Dan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, tentunya ia memiliki andil dalam membentuk kerangka berpikir individu serta kelompok.
Sosiologi bisa menjadi medium yang penting banget dalam hal ini.
Misalnya nih, norma tentang mayoritas dan minoritas dalam masyarakat gak ada, dan semua individu dilihat secara rata, tanpa ada kuantifikasi identitas, kira-kira apa yang akan terjadi? Ini bisa elo telaah melalui Sosiologi. Pelajari lebih lanjut materi Sosiologi dengan klik banner di bawah ini.
Oya, kalo elo mau ganti cara belajar biar lebih efektif, gue mau rekomendasiin elo untuk langganan paket belajar Aktiva Sekolah. Elo bisa belajar dari video materi premium, ngerjain tryout, tanya jawab sama Zen Tutor di live class dan berbagai fasilitas seru lainnya. Klik gambar di bawah ini buat info lengkapnya, ya!
Gitu deh, Sobat Zenius. Sekian dulu tulisan gue tentang Belajar Sosiologi. Semoga tulisan ini bermanfaat buat elo, dan jangan ragu untuk diskusi di kolom komentar, ya!
Originally published: September 26, 2018Updated by: Arieni Mayesha
Sosiologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari masyarakat, hubungan sosial, dan interaksi manusia. Pentingnya sosiologi dalam kehidupan sehari-hari terletak pada kemampuannya untuk memberikan wawasan mendalam tentang struktur dan dinamika sosial yang membentuk perilaku individu dan kelompok. Dengan mempelajari sosiologi, seseorang dapat memahami pola-pola sosial yang tersembunyi di balik tindakan sehari-hari, seperti mengapa kita berperilaku tertentu dalam situasi sosial, bagaimana norma dan nilai terbentuk, dan bagaimana kekuasaan dan ketidaksetaraan didistribusikan dalam masyarakat.
Selain itu, sosiologi membantu kita menyadari bahwa banyak masalah pribadi sebenarnya adalah masalah sosial yang lebih luas. Misalnya, pengangguran bukan hanya masalah individu yang malas, tetapi juga hasil dari struktur ekonomi dan kebijakan publik yang mempengaruhi lapangan pekerjaan. Pemahaman ini mempersiapkan individu untuk lebih kritis dan tanggap terhadap berbagai peluang, tantangan, dan kesulitan hidup. Sosiologi juga mendorong kita untuk berpikir tentang peran kita dalam masyarakat dan bagaimana kita bisa berkontribusi untuk perubahan sosial yang positif.
Melalui perspektif sosiologis, kita belajar untuk mengapresiasi keragaman budaya dan mengembangkan empati terhadap orang lain. Ini penting dalam dunia yang semakin global dan terhubung, di mana interaksi dengan orang dari latar belakang berbeda menjadi lebih sering. Pada akhirnya, sosiologi tidak hanya memberikan pemahaman teoritis, tetapi juga alat praktis untuk menganalisis dan memecahkan masalah sosial, sehingga memungkinkan individu untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan berkontribusi pada kemajuan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh: Dr. Dede Syarif (Dosen Prodi Sosiologi UIN Bandung)
Pernahkah Anda mendengar istilah “pragmatis”? Pragmatis adalah sebuah konsep yang sering digunakan dalam dunia pemikiran dan tindakan. Pemikiran pragmatis mengacu pada cara berpikir seseorang yang lebih fokus pada hasil akhir.
Dalam bahasa sehari-hari, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kecenderungan untuk mempertimbangkan suatu tindakan secara cepat dari tindakan atau keputusan yang diambil.
Mari simak ulasan tentang apa itu pragmatis pada artikel LinovHR berikut ini!
Pragmatis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pendekatan yang fokus pada kegunaan praktis dan hasil yang dapat dicapai dalam konteks tertentu.
Istilah ini berasal dari kata “pragmatik” yang berasal dari bahasa Yunani, “pragma,” yang berarti “perbuatan” atau “tindakan.”
Dalam pemahaman pragmatis, penting untuk mempertimbangkan konteks sosial, situasi, dan tujuan yang ingin dicapai dalam berkomunikasi atau bertindak.
Terkadang individu dengan sifat pragmatis bisa mengikuti tindakan orang lain tanpa mempertimbangkan segala sesuatu secara matang dan terstruktur, bahkan mereka bisa mengambil keputusan secara cepat walaupun tindakannya itu salah.
Sosiologi itu Belajar tentang Etika
Sebelum menjelaskan maksud dari poin pembahasan pertama, mungkin gue perlu bahas dulu apa itu etika?
Etika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang hal yang dianggap baik dan buruk. Dalam suatu masyarakat, etika menjadi standar penilaian atau penentuan moral.
Dalam Sosiologi, prinsip etika tertuang dalam konsep norma. Norma itu apa, sih? Norma adalah seperangkat aturan dalam masyarakat yang menentukan hal mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk.
Sebagai contoh, di masyarakat Indonesia yang menghargai norma kesopanan, berbicara dengan cara yang tidak sopan kepada orang tua bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak etis (tidak sesuai dengan etika).
Tujuan mempelajari ilmu sosiologi mempelajari tentang memahami apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh suatu masyarakat. Namun, itu bukan berarti bahwa mempelajari Sosiologi sama dengan belajar beretika, atau mempelajari bagaimana caranya menjadi seorang anggota masyarakat yang baik.
Walau tentunya hal ini bisa saja dilakukan dengan menyesuaikan perilaku dan perbuatan kita dengan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang kita amati.
Dengan belajar Sosiologi, elo menjadi tahu konteks besar dalam pandangan bermasyarakat, tapi bukan berarti ilmu Sosiologi menyuruh atau menuntun kita menjadi masyarakat yang “baik” atau “buruk”.
Apakah ini berarti bahwa bertindak sesuai kehendak masyarakat adalah suatu hal yang tidak penting? Nggak juga.
Sosiologi mengamati seseorang, memahami mengapa suatu fenomena sosial terjadi di masyarakat. Bahkan, jika memang perlu, akan lebih baik lagi jika orang tersebut dapat memahami bagaimana fenomena atau permasalahan sosial harus ditanggapi atau diselesaikan.
Kemudian, untuk dapat memahami mengapa suatu fenomena sosial terjadi pada masyarakat dengan sebaik-baiknya, seseorang yang mempelajari Sosiologi perlu “melepas” seperangkat nilai dan norma yang dimilikinya agar ia tidak memandang fenomena tertentu secara bias.
Bias yang dimaksud adalah perbenturan yang terjadi di antara nilai dan norma yang dimiliki seseorang dengan hal yang diamatinya.
Misalnya nih, elo lagi mengamati fenomena transgender.
Ketika elo tumbuh di sebuah masyarakat yang secara dominan hanya mendikotomikan gender ke dalam dua kelompok—laki-laki dan perempuan—mungkin akan membuat elo nganggap bahwa perilaku para transgender menyimpang atau bahkan salah.
Ketika elo sudah terlebih dahulu memberikan penilaian atau penghakiman bahwa perilaku para transgender tersebut menyimpang atau salah, bisa jadi elo malah melupakan tugas utama elo, yaitu memahami mengapa para transgender berperilaku dengan cara-cara tertentu atau pola-pola tertentu.
Ingat, tujuan belajar sosiologi atau menjadi seorang sosiolog dan researcher dalam bidang sosiologi berarti elo harus menyampingkan nilai-nilai individu yang menurut elo secara pribadi benar, kemudian elo harus fokus pada metodologi yang valid dalam mengupas sebuah fenomena kemasyarakatan dari sudut pandang yang netral.
Dalam mempelajari masyarakat, penting agar kita menghindari pandangan yang bias. Alasannya sederhana, pandangan yang bias justru akan menjauhkan kita dari pemahaman yang obyektif tentang suatu masyarakat.
Pembahasan ini berkenaan dengan salah satu sifat Sosiologi yang kita pelajari, yaitu non-etis.
Seperti yang telah kita ketahui, sikap non-etis berarti memandang dan memahami fenomena sosial tanpa memberikan penilaian baik/buruk maupun benar/salah.
Tujuan akhir dari bersikap non-etis adalah memahami masyarakat secara objektif atau tanpa bias, sehingga kita dengan sebaik-baiknya dapat memahami mengapa suatu fenomena sosial terjadi.
Jadi dari poin ini bisa disimpulkan bahwa Sosiologi itu sifatnya NON-ETIS, yang mana berarti seorang sosiolog tidak dapat menilai sesuatu fenomena kemasyarakatan itu adalah hal yang baik/benar/ataupun salah.
Sosiologi itu Isinya Teori Doang
Banyak orang berpendapat bahwa tujuan belajar sosiologi hanya sebatas tentang memahami masyarakat secara teoretis dan nggak ada “langkah nyata” untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat.
Pandangan ini kurang tepat, karena Sosiologi memiliki dimensi-dimensi yang lebih pragmatis dari hanya sekadar mengenal masyarakat melalui teori.
Meski nampak abstrak, sebenarnya Sosiologi bisa banget nawarin langkah nyata dalam merespons suatu fenomena. Langkah nyata ini biasanya diolah melalui salah satu cabang Sosiologi yang disebut sebagai Applied Sociology atau yang juga dikenal dengan nama Practical Sociology.
Seperti Sosiologi pada umumnya, cabang yang dikenal sebagai Sosiologi terapan ini mempelajari masyarakat melalui penelitian serta teori-teori Sosiologi untuk memahami mengapa suatu fenomena sosial terjadi dalam masyarakat.
Namun, tidak berhenti di situ, hasil penelitian yang telah dibuat kemudian digunakan sebagai acuan untuk melakukan perubahan sosial yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di dalam masyarakat.
Sebagai contoh, seseorang melihat masalah yang dihadapi oleh masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan.
Dengan menggunakan teori Sosiologi tentang pendidikan, ia kemudian mengajukan solusi yang dapat mempermudah akses masyarakat miskin terhadap pendidikan.
Solusi yang telah dirumuskan kemudian diwujudkan sebagai rekomendasi kebijakan pemerintah atau dapat juga direalisasikan melalui program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan.
Walaupun lebih berfokus pada penyelesaian masalah secara praktis, Applied Sociology ujung-ujungnya akan tetap mengacu pada teori atau hasil suatu penelitian yang telah dilakukan.
Pada akhirnya, kesinambungan teori dan praktik tidak dapat dipisahkan dari satu dengan yang lainnya karena solusi yang baik hanya dapat dihasilkan ketika masalah yang hendak diselesaikan dapat dipahami secara mendalam, salah satu caranya melalui teori.
Serba balanced, lah. Nggak “cuma” teori, kan?
Ahli Sosiologi Nggak Punya Banyak Pilihan Karier
Terus, kalo gue ngambil jurusan Sosiologi untuk kuliah, gue bisa kerja jadi apa?
Selama berkuliah, orang-orang yang lulus dari jurusan Sosiologi nggak hanya belajar teori, salah satu hal lain yang juga dipelajari secara mendalam adalah metode penelitian.
Berbagai metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif dipelajari untuk digunakan dalam berbagai macam penelitian sosial.
Jadi, berbagai jenis pekerjaan yang berkenaan dengan penelitian sangat cocok untuk lulusan jurusan Sosiologi.
Sekarang coba ya gue eksplorasi apa saja pekerjaan-pekerjaan tersebut dan kenapa lulusan jurusan Sosiologi ideal untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Elo pasti familiar dengan berbagai aplikasi di smartphone, kan, baik media sosial, aplikasi untuk belanja, aplikasi untuk transportasi, dan lain-lain.
Kira-kira elo kebayang gak bagaimana letak setiap menu yang ada di aplikasi diatur sehingga menjadi nyaman untuk digunakan? Sebelum letak menu-menu tersebut ditentukan, ada proses risetnya, loh! Riset biar elo semua nyaman saat melakukan navigasi di aplikasi tersebut.
Orang yang bertugas dalam melakukan riset ini adalah seorang User Experience Researcher/Analyst (UX Researcher/Analyst).
Riset yang dilakukan oleh seorang UX Researcher/Analyst bisa menggunakan metode kuantitatif (melalui survei) maupun kualitatif (melalui wawancara, focus group discussion, dan lain-lain).
Selain itu, data yang dianalisis oleh seorang UX Researcher/Analyst bisa berupa data primer (dikumpulkan secara langsung) maupun sekunder (dikumpulkan dari hasil-hasil riset yang telah dilakukan).
Dipelajarinya metode-metode penelitian dan pengolahan berbagai jenis data oleh lulusan jurusan Sosiologi akan memudahkan mereka untuk melakukan pekerjaan ini.
Salah satu prospek pekerjaan lain yang cocok untuk dimiliki seorang lulusan jurusan Sosiologi adalah market researcher.
Seorang market researcher bertugas dalam mengumpulkan dan menganalisis data tentang pasar sesuai dengan kebutuhan klien, klien yang dimaksud bisa saja bergerak di bidang bisnis maupun politik.
Misal, sebuah perusahaan makanan ringan hendak mengeluarkan varian produk baru. Untuk memastikan bahwa varian produk baru tersebut laku di pasar, seorang market researcher akan mengumpulkan dan menganalisis data yang ia butuhkan untuk mendukung penjualan produk baru tersebut.
Sang market researcher dapat mencari tahu rasa apa yang kira-kira akan disukai oleh pasar saat ini.
Kemudian, ia juga akan mencari tahu siapa target pasar dari produk baru tersebut dan bagaimana produk akan dipasarkan.
Perkiraan harga jual dari produk terbaru tersebut juga perlu disesuaikan dengan target pasar. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh seorang UX Researcher/Analyst, berbagai informasi di atas dapat diperoleh melalui penelitian kuantitatif maupun kualitatif.
Contoh-contoh pekerjaan dari yang dapat dilakoni oleh lulusan jurusan Sosiologi di atas dipilih untuk dibahas karena menduduki peran yang penting untuk kelangsungan kehidupan masyarakat.
Kalo lo belajar Sosiologi secara mendalam, elo akan terbiasa untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data.
Ini merupakan advantage elo banget dalam dunia kerja, khususnya di era data driven society seperti saat ini di mana berbagai keputusan diambil dengan mengacu pada data.
Perbedaan Pragmatis vs Idealis
Sikap pragmatis dan idealis adalah dua konsep yang berbeda dalam sifat maupun pemikiran filosofis. Berikut ada beberapa perbedaan antara pragmatis dan idealis, di antaranya:
Sikap pragmatis adalah filsafat yang menekankan pada pentingnya tindakan dan pengalaman dalam memahami dunia. Sementara itu, idealis adalah filsafat yang menekankan pada pemikiran dan ide sebagai sarana untuk memahami dunia.
Pragmatis fokus pada pengalaman empiris dan praktik. Dalam pandangan pragmatis, pengetahuan berasal dari pengalaman dan eksperimen.
Sementara itu, idealis fokus pada pemikiran dan ide. Dalam pandangan idealis, pengetahuan berasal dari pemikiran dan refleksi.
Pragmatis menggunakan metode ilmiah dan empiris untuk memahami dunia. Dalam pandangan pragmatis, teori harus diuji dengan pengalaman.
Sementara itu, idealis menggunakan metode rasional dan filosofis. Dalam pandangan idealis, teori harus diuji dengan akal budi dan pemikiran.
Menghalalkan Segala Cara
Sifat pragmatis juga dapat ditunjukkan dengan cara seseorang menggunakan segala cara yang tersedia untuk mencapai tujuannya, bahkan jika cara tersebut buruk.
Meskipun awalnya mungkin hanya mencoba jalan pintas, tetapi jika berhasil, maka dapat menimbulkan ketertarikan untuk terus menggunakan cara tersebut.
Ambisi yang Berlebihan
Meskipun memiliki ambisi adalah hal yang penting untuk mencapai tujuan, namun jika terlalu berlebihan, maka dapat dianggap sebagai sifat pragmatis.
Orang yang pragmatis cenderung ambisius serta tidak sabar dan dapat mengesampingkan aspek penting yang diperlukan untuk mencapai tujuan.